SELAMAT DATANG

Selamat menikmati artikel-artikel hasil copy & paste (Copas) berikut, semoga dapat menambah wawasan bagi pribadi yang ingin berkembang.

Tuesday, June 7, 2011

Psikolog Bukan Sekadar ‘Tong Sampah’

Analisa/ferdy. Setiap biro psikologi diwajibkan memiliki izin praktek psikolog dengan mendaftarkan ke Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) sebagai legalitas profesi.
Oleh: Adelina Savitri Lubis
Sejak 1996 pemerintah membuat jenjang dalam ilmu psikologi, semacam penyetaraan seperti ilmu kedokteran atau ilmu farmasi. Artinya seseorang bisa disebut psikolog karena dia telah mengambil pasca sarjana psikologi (S2). Sebelumnya, seorang sarjana psikologi sudah langsung disebut psikolog. Bahkan di masa itu sempat terjadi peralihan, sarjana psikologi diwajibkan mengikuti pelatihan psiko-diagnostis untuk bisa dikatakan sebagai psikolog.
Kini, S2 Psikologi terbagi atas dua jurusan, yakni, Psikologi Science dan Psikologi Profesi. Hanya lulusan S2 Psikologi Profesilah yang berhak membuka praktik psikolog. Sedangkan S2 lulusan Psikologi Science sama sekali tidak berhak untuk membuka praktik psikologi. Secara teknis Psikologi Science melakukan pendekatan teoritis, sedangkan Psikologi Profesi lebih kepada pendekatan praktik.
"Praktik yang dilakukan S2 Psikolog salah satunya, seperti ke rumah sakit jiwa. Dengan begitu mereka lebih terampil menggunakan alat ukur psikotes, menegakkan diagnosa dan mengidentifikasi gejala pada klien atau pasien. Hal ini tidak ditemukan dalam S2 Psikologi Science," jelas Dekan Fakultas Psikologi Universitas Medan Area (UMA), Irna Minauli kepada analisa, Jumat (27/5).
Senada dengan Irna, Pembantu Dekan I Fakultas Psikologi USU, Sri Supriyantini, M.Si., Psikolog, menambahkan, keduanya memiliki kompetensi (kemampuan) yang berbeda. Praktiknya, S1 Psikologi berkompeten sebagai trainer (pelatih) sesuai yang dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan terkait persoalanan motivasi Sumber Daya Manusia (SDM). Contoh lainnya, berkaitan dengan dunia pendidikan seperti training (pelatihan) cara belajar efektif siswa. Selain itu psikologi sarjana juga berkompeten sebagai peneliti dalam bidang industri, sosial, anak juga bidang pendidikan. Mereka juga berkompeten sebagai Asisten Psikolog.
"Perbedaan yang kentara dapat diketahui melalui gelar yang diperoleh. S2 Psikologi Science mendapat gelar Master of Science (M.Si). Sedangkan S2 Psikologi Profesi mendapat gelar Magister Profesi Psikologi (M.Psi)," ungkapnya kala ditemui di ruang Pembantu Dekan 1 Fakultas Psikologi USU, Rabu (25/5).
Saat ini pemerintah bahkan menetapkan satu kurikulum ilmu psikologi seluruh kampus di Indonesia. Penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan pemerintah ini diungkapkan Irna, demi menghindari maraknya praktik layanan jasa psikologi yang melanggar aturan (mal praktik). Sejatinya mal praktik psikolog bukan hanya merugikan psikologi secara keilmuan, juga merugikan masyarakat (pengguna layanan jasa psikolog). Bagi Yanti peran psikolog tidak sesederhana itu. Tidak sekadar bersifat mendengarkan semata, seperti menyimak curhatan seorang teman. Ada teknik tertentu yang hanya didapatkan di dalam ilmu psikologi.
"Kita harus akui, masyarakat tidak lagi bodoh, masyarakat di zaman ini sudah pintar. Pelan-pelan, masyarakat dapat menilai, apakah praktik psikolog itu berkompeten atau tidak," tegasnya.
Dalam bahasa yang berbeda Irna menyepakati hal itu, psikolog bukan sekadar ‘tong sampah’, katanya. Seorang psikolog sejatinya sudah mempelajari berbagai teori tentang manusia, tahap perkembangan manusia, sehingga seorang psikolog mampu membedakan antara perilaku normal, perilaku abnormal atau perilaku di antara keduanya. Selain itu seorang psikolog juga menguasai teori-teori kepribadian (psiko analisa, behavioristic). Prinsipnya, perkembangan terapi dalam psikologi terus berkembang. Maksudnya, apa yang dianggap tepat justru menjadi kurang tepat.
"Artinya kala seorang psikolog melihat sebuah kasus, dia harus melihat dari sudut teori tertentu, sehingga penanganannya nanti menjadi sesuai. Jadi bukan sekadar dengar curhatan," jelas Irna.
Wajib Jaga Rahasia
Ada batasan lain yang membuat psikolog berbeda dengan teman curhat, adanya kode etik profesi psikolog yang harus dipatuhi. Idealnya seorang psikolog wajib menjaga kerahasiaan klien. Persis yang tertera dalam kode etik psikologi Indonesia Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi), Pasal 24 poin Mempertahankan Kerahasian Data. Disebutkan Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikolog wajib memegang teguh rahasia yang menyangkut klien atau pengguna layanan psikologi dalam hubungan dengan pelaksanaan kegiatannya. Penggunaan keterangan atau data mengenai pengguna layanan psikologi atau orang yang menjalani layanan psikologi yang diperoleh Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam rangka pemberian layanan psikologi, hendaknya mematuhi hal-hal sebagai berikut; a). Dapat diberikan hanya kepada yang berwenang mengetahuinya dan hanya memuat hal-hal yang langsung berkaitan dengan tujuan pemberian layanan psikologi, b). Dapat didiskusikan hanya dengan orang-orang atau pihak yang secara langsung berwenang atas diri pengguna layanan psikologi, c). Dapat dikomunikasikan dengan bijaksana secara lisan atau tertulis kepada pihak ketiga, hanya bila pemberitahuan ini diperlukan untuk kepentingan pengguna layanan psikologi, profesi dan akademisi. Dalam kondisi tersebut identitas orang yang menjalani pemeriksaan psikologi tetap dijaga kerahasiaannya.
Begitupun, diakui Irna persoalanan menjaga kerahasiaan klien ini justru menjadi dilema bagi psikolog. Irna mencontohkan, seorang suami yang menceritakan keinginannya menikahi wanita idaman lain. Sisi lain, psikolog ternyata mengenal dekat isteri dari suami yang telah berselingkuh itu. Sampai suatu ketika, suami akhirnya menikahi selingkuhannya. Lantas sang isteri marah kepada psikolog, mengapa psikolog tidak memberitahunya kalau suaminya memiliki wanita idaman lain.
"Itu tadi karena kode etik, psikolog harus menjaga kerahasiaan kliennya. Sebagai manusia biasa psikolog bisa saja terpengaruh hati dan pikirannya, tapi itulah tantangannya, harus mampu, harus bisa," kata Irna.
Menariknya berkaca dengan negara lain, Asociation Phsicology America (APA) di Amerika Serikat memiliki kode etik yang lebih ketat. Dalam satu pasal termuat di kode etik APA, disebutkan psikolog tidak diizinkan memiliki hubungan emosional dengan kliennya. Sayangnya, sampai saat ini belum ada hukum yang mengatur tentang malpraktik psikolog. Paling Yanti bilang, sanksinya adalah teguran yang dilakukan oleh Himpsi. Seberat-beratnya, dikeluarkan dari Himpsi.
Terlepas dari itu, Irna menyoroti kurangnya pengetahuan masyarakat untuk membedakan antara psikolog dengan psikiater. Menurut Irna, keduanya merupakan profesi yang sangat berbeda. Psikiater adalah dokter yang mengambil spesialisasi kedokteran jiwa. Pendekatan yang dilakukan psikiater berbeda dengan Psikolog. Psikiater melakukan pendekatan secara medis. Artinya mereka (psikiater) diperbolehkan untuk memberikan obat-obatan kepada klien atau pasien. Psikolog tidak diperkenankan memberikan resep, apalagi obat-obatan kepada klien. Psikolog lebih menyoroti hal-hal yang berhubungan dengan perilaku (behavior) klien.
Psikotes Kurang-Lebih Individu
Layanan jasa psikolog bukan hanya diperlukan untuk membantu persoalanan yang sifatnya pribadi. Dalam skala besar, layanan jasa psikolog pun dibutuhkan perusahaan. Salah satunya psikotes untuk menyaring SDM sesuai persyaratan yang ditentukan perusahaan. Umumnya, ada penilaian dalam beberapa aspek yang digunakan psikolog. Sebutlah aspek kecerdasan, aspek kepribadian, aspek cara kerja dan aspek kepemimpinan. Dalam aspek kecerdasan meliputi beberapa poin, seperti daya ingat, daya nalar, daya tangkap, kemampuan berhitung dan lain sebagainya. Aspek kepribadian meliputi poin kestabilan emosi, kemampuan bersosialisasi. Dalam aspek cara kerja meliputi poin daya tahan menghadapi stress atau ketelitiannya.
"Intinya, psikotes dilaksanakan untuk melihat kelebihan dan kekurangan individu. Apakah kekurangan atau kelebihan yang dimiliki individu itu memberi keuntungan atau kerugian bagi perusahaan?" ucap Irna.
Sejatinya, psikotes bukanlah hal langka bagi masyarakat. Apalagi sekarang, di era terbukanya teknologi informasi hasil psikotes pun bisa diakali, asalkan mengerti rumusnya. Psikotes tidak lagi menjadi ukuran pasti untuk mengetahui pribadi seseorang. Menurut Irna, saat ini bocoran tentang materi psikotes beredar luas dimana-mana. Bahkan informasinya sangat mudah ditemui di buku pun dunia maya. Justru itu Irna bilang, seorang psikolog yang handal tidak akan mengandalkan pada hasil tes semata. Dia harus menyempurnakan hasil tes melalui hasil observasi dan hasil wawancara.
"Pada kurikulum baru fakultas psikologi, porsi untuk mata kuliah observasi dan wawancara lebih besar dibandingkan dengan kurikulum yang lama, masing-masing 3 SKS. Sebelumnya mata kuliah observasi dan wawancara digabung satu paket, hanya 2 SKS. Diharapkan mahasiswa memliki kemampuan yang lebih pada bidang wawancara dan observasi," jelasnya.
Sampai saat ini UMA telah dipakai oleh berbagai lembaga pemerintahan pun swasta. Sekurang-kurangnya UMA telas meluluskan sampai 100 mahasiswa psikologi S1, dan meluluskan sebanyak 30 mahasiswa psikologi S2. Sedangkan USU, sedikitnya telah meluluskan 80 mahasiswa psikologi S1, dan meluluskan empat sampai enam mahasiswa psikologi S2.
Tak dipungkiri Irna, ada juga perusahaan-perusahaan yang menggunakan layanan jasa psikolog sekadar basa-basi. Maksudnya perusahaan yang menghalalkan praktik KKN dan ‘titipan’ pihak tertentu. Secara pribadi, dia mengaku lebih menyukai klien yang berasal dari perusahaan swasta murni, karena bisa menghindarkan segala praktik yang diwariskan masa orde baru. Kata Irna, percayalah setiap orang memiliki kesempatan dan peluang yang sama, tanpa harus melihat suku, agama atau ras tertentu. Tak perlu pakai titipan orang tertentu atau sejumlah angka yang ikut dititipkan. Tak perlu, bisik Irna. Sst, sst, sst.