JAKARTA. Kebahagiaan Dewinta Tutiningrum tak pernah surut. Kendati sang suami telah meninggal dunia dua tahun lalu akibat menderita penyakit gagal ginjal, kehidupan Endang seakan tak berubah. Ibu tiga orang anak ini bisa hidup berkecukupan. Maklum, semasa hidup, Muhammad Sukanta, suami Dewinta, rajin menabung dan mengumpulkan aset kekayaan.
Sukanta, misalnya, memiliki aset tanah seluas 2.000 meter persegi di sebuah daerah di Jawa Barat. Dia juga memiliki tiga unit rumah yang dibangun di sekitar tempat tinggalnya di Cimanggis, Depok, Jawa Barat. Semua aset kekayaan warisan Sukanta tersebut, kini dinikmati oleh istri dan anak-anaknya.
Untuk dua orang anak laki-lakinya yang telah berkeluarga, Dewinta memberikan masing-masing satu unit rumah peninggalan sang suami. Satu unit lainnya dia sewakan kepada orang lain dengan sistem bayaran per tahun. Sedangkan putri bungsunya yang berusia 15 tahun, tinggal bersamanya di rumah induk, yang dibangun suaminya ketika putra sulungnya masih berusia lima tahun.
Sukanta, misalnya, memiliki aset tanah seluas 2.000 meter persegi di sebuah daerah di Jawa Barat. Dia juga memiliki tiga unit rumah yang dibangun di sekitar tempat tinggalnya di Cimanggis, Depok, Jawa Barat. Semua aset kekayaan warisan Sukanta tersebut, kini dinikmati oleh istri dan anak-anaknya.
Untuk dua orang anak laki-lakinya yang telah berkeluarga, Dewinta memberikan masing-masing satu unit rumah peninggalan sang suami. Satu unit lainnya dia sewakan kepada orang lain dengan sistem bayaran per tahun. Sedangkan putri bungsunya yang berusia 15 tahun, tinggal bersamanya di rumah induk, yang dibangun suaminya ketika putra sulungnya masih berusia lima tahun.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari bersama putri bungsunya, Dewinta membuka kios kelontong di garasi rumahnya. Modal untuk membuka usaha dia peroleh dari hasil menjual sebagian tanah warisan suaminya. Sisanya dia manfaatkan untuk menanam palawija yang dia percayakan kepada salah satu adik kandungnya.
Sebuah kisah yang indah, kendati sebuah keluarga kehilangan sosok pencari nafkah. Namun, perlukah ketika merencanakan keuangan kita dan menetapkan tujuan mewariskan aset kepada anak? Tak cukupkah membekali mereka dengan pendidikan yang baik?
Sisi keuntungan
Rupanya, sebagian perencana keuangan punya pikiran serupa dengan kebanyakan orangtua. Memupuk kekayaan agar bisa diwariskan kepada anak kelak adalah tindakan bijaksana. “Sejak anak umur sehari, orangtua harus merencanakan keuangan untuk kebutuhan anaknya di masa depan. Sebab, bisa saja orangtua meninggal dunia ketika anak masih kecil,” kata Risza Bambang, perencana keuangan dari Shildt Financial Planning.
Perlunya seseorang merencanakan keuangan untuk diwariskan ke anak juga diungkapkan Mike Rini. Secara alamiah, menurut perencana keuangan dari MRE Financial & Business Advisory itu, orangtua pasti cenderung mengharapkan yang terbaik untuk masa depan anaknya.
Karena dorongan itulah, kata Mike, orangtua bekerja keras mencari nafkah dan memupuk aset “Tujuan dari akumulasi aset tadi, salah satunya adalah mempersiapkan kesejahteraan anak di masa depan,” katanya.
Menurut Mike, terdapat sejumlah keuntungan yang bisa didapat seseorang dengan merencanakan keuangan untuk mewariskan aset kepada anak. Pertama, timbulnya optimisme anak dalam menghadapi berbagai tantangan masa depan. Pasalnya, berbagai risiko keuangan yang kelak menghalangi kesejahteraan anak bisa diatasi. Efisiensi arus kas rumah tangga juga bisa termotivasi karena orangtua berencana mewariskan aset.
Keuntungan lainnya adalah meningkatnya optimalisasi aset-aset keluarga karena telah dialokasikan sedemikian rupa sesuai kebijakan portofolio investasi keluarga. Ini dengan tujuan menghasilkan pendapatan maupun pertumbuhan untuk mengakomodir tujuan persiapan kesejahteraan anak.
Mike bilang, mempersiapkan kesejahteraan anak di masa depan dapat dibagi menjadi empat tahapan. Pertama, perencanaan masa sekolah. Kedua, perencanaan masa bekerja. Ketiga, perencanaan masa berkeluarga. Keempat, perencanaan antisipasi risiko. “Tujuan akumulasi aset dalam persiapan kesejahteraan anak itu menggambarkan siklus hidup si anak. Mulai dari saat masih menjadi tanggungan orangtua, masa lajang, telah bekerja, masa berkeluarga, dan menjadi orangtua,” katanya.
Mike menjelaskan, pada masa anak masih menjadi tanggungan orangtua atau anak belum memiliki penghasilan sendiri, orangtua perlu mempersiapkan kesejahteraan anak melalui perencanaan pendidikan. “Sehingga, bekal ilmu yang didapat, bisa menjadi modal bagi anak mencapai kemandirian finansialnya,” tandasnya.
Sedangkan pada saat si anak dalam masa lajang dan mencari pekerjaan, transformasi dari masa tanggungan orangtua ke fase mandiri, akan lebih baik di lewati dengan support dana secukupnya dari orangtua. Contoh, berupa pendapatan yang sifatnya uang saku tambahan. Ini bisa dalam bentuk skema anuitas seperti trust fund. Tujuannya agar anak bisa berkonsentrasi pada karier, pekerjaan, dan bisnis yang akan digeluti.
Lalu, pada masa ketika anak berkeluarga dan menjadi orangtua. Transformasi dari masa lajang ke masa pernikahan kemudian masa menjadi orang tua, menurut Mike, pada umumnya berlangsung dalam waktu relatif singkat. Contohnya, ketika masa lajang, si anak baru bekerja pada saat usianya 22 tahun dan memasuki jenjang pernikahan pada usia 30 tahun.
Nah, dalam rentang waktu sekitar delapan tahun itu, sebagian besar orang belum mampu mengakumulasi aset yang cukup untuk berbagai kebutuhannya yang sifatnya primer dalam hidup berkeluarga. “Di sinilah peranan orangtua untuk membantu mengatasi masalah kekurangan dana sebagai modal hidup si anak,” ungkap Mike.
Sampai di sini, ya itu tadi, semua proses tahapan tersebut akan terwujud bila si orangtua mengakumulasi asetnya sejak anaknya berusia dini. “Nah akumulasi aset tersebut bisa berasal dari kegiatan menabung atau berinvestasi si orangtua di masa produktifnya,” kata Mike.
Menurut Mike, untuk kegiatan menabung, Anda bisa memilih sejumlah produk keuangan. Antara lain, simpanan di bank seperti tabungan berencana, tabungan pendidikan, dan deposito. Lalu, produk asuransi dengan skema investasi, seperti asuransi pendidikan dan unitlink. Ada pula efek dan surat berharga (repo, saham, dan obligasi). Pilihan lainnya adalah trust fund (dana amanat).
Return di atas inflasi
Di samping produk keuangan, Anda juga bisa merencanakan keuangan untuk diwariskan ke anak melalui keranjang investasi lainnya. Misalnya, investasi ke sektor properti komersial seperti ruko, kantor, hotel atau properti jenis residensial, seperti rumah tinggal, apartemen, dan properti lainnya.
Selain itu, Anda bisa berinvestasi di logam Mulia, seperti batu mulia atau barang koleksi lainnya. Anda tidak tertarik dengan keranjang investasi yang sudah disebutkan di atas? Tidak masalah, karena Anda juga bisa mengakumulasi aset untuk diwariskan ke anak melalui kegiatan usaha. “Carilah jenis usaha yang bisa langgeng dan berkembang terus dalam jangka panjang. Atau jenis usaha yang bisa menjadi sumber dana untuk mengembangkan harta kekayaan atau aset,” timpal Risza.
Yang paling penting, menurut Risza, dalam merencanakan keuangan untuk warisan anak, Anda harus memilih instrumen investasi yang memiliki nilai pengembalian investasi yang angkanya lebih besar dari tingkat inflasi. “Ini mengingat jangka waktu pada saat pengalihan kepemilikan terjadi dalam rentang waktu panjang,” katanya.
Menurut Rakhmi Permatasari perencana keuangan dari Safir Senduk & Rekan, tidak ada batasan tertentu dalam menabung maupun berinvestasi ketika merencanakan keuangan untuk warisan anak. “Setiap keluarga punya kondisi keuangan berbeda, dengan latar belakang yang sangat berbeda pula. Jadi, semuanya harus disesuaikan dengan kondisi itu,” kata Rakhmi.
Hal tersebut juga berlaku dalam pemilihan keranjang investasi. “Pertimbangannya sama saja seperti kita menyarankan investasi pada seseorang. Jadi, tidak ada rumusan baku untuk hal tersebut,” imbuh Rakhmi. Hanya saja, kata dia, jika si orangtua ingin meninggalkan aset warisan kepada anaknya, maka sebisa mungkin mewariskan sesuatu yang memang dimengerti oleh anaknya. “Contohnya anak kecil. Apakah cocok kalau anak kecil diberikan warisan saham?” imbuhnya.
Jadi, menurut Rakhmi, dalam merencanakan keuangan untuk warisan Anak, tugas Anda bukan hanya mengakumulasi aset dengan menabung atau berinvestasi. Anda juga dituntut untuk mempersiapkan anak agar mengerti dengan baik dan sanggup menerima serta mengelola warisan yang akan diberikan.
Pendapat Rakhmi diamini oleh Risza. “Janganlah pelit dan ragu untuk memberikan edukasi mengenai ilmu finansial atau Pendidikan Keuangan bagi anak. Tujuannya agar mereka mengetahui dan memahami bagaimana cara mengelola dan mengembangkan aset atau harta kekayaan,” ujarnya. Bagaimana dengan Anda?
Sebuah kisah yang indah, kendati sebuah keluarga kehilangan sosok pencari nafkah. Namun, perlukah ketika merencanakan keuangan kita dan menetapkan tujuan mewariskan aset kepada anak? Tak cukupkah membekali mereka dengan pendidikan yang baik?
Sisi keuntungan
Rupanya, sebagian perencana keuangan punya pikiran serupa dengan kebanyakan orangtua. Memupuk kekayaan agar bisa diwariskan kepada anak kelak adalah tindakan bijaksana. “Sejak anak umur sehari, orangtua harus merencanakan keuangan untuk kebutuhan anaknya di masa depan. Sebab, bisa saja orangtua meninggal dunia ketika anak masih kecil,” kata Risza Bambang, perencana keuangan dari Shildt Financial Planning.
Perlunya seseorang merencanakan keuangan untuk diwariskan ke anak juga diungkapkan Mike Rini. Secara alamiah, menurut perencana keuangan dari MRE Financial & Business Advisory itu, orangtua pasti cenderung mengharapkan yang terbaik untuk masa depan anaknya.
Karena dorongan itulah, kata Mike, orangtua bekerja keras mencari nafkah dan memupuk aset “Tujuan dari akumulasi aset tadi, salah satunya adalah mempersiapkan kesejahteraan anak di masa depan,” katanya.
Menurut Mike, terdapat sejumlah keuntungan yang bisa didapat seseorang dengan merencanakan keuangan untuk mewariskan aset kepada anak. Pertama, timbulnya optimisme anak dalam menghadapi berbagai tantangan masa depan. Pasalnya, berbagai risiko keuangan yang kelak menghalangi kesejahteraan anak bisa diatasi. Efisiensi arus kas rumah tangga juga bisa termotivasi karena orangtua berencana mewariskan aset.
Keuntungan lainnya adalah meningkatnya optimalisasi aset-aset keluarga karena telah dialokasikan sedemikian rupa sesuai kebijakan portofolio investasi keluarga. Ini dengan tujuan menghasilkan pendapatan maupun pertumbuhan untuk mengakomodir tujuan persiapan kesejahteraan anak.
Mike bilang, mempersiapkan kesejahteraan anak di masa depan dapat dibagi menjadi empat tahapan. Pertama, perencanaan masa sekolah. Kedua, perencanaan masa bekerja. Ketiga, perencanaan masa berkeluarga. Keempat, perencanaan antisipasi risiko. “Tujuan akumulasi aset dalam persiapan kesejahteraan anak itu menggambarkan siklus hidup si anak. Mulai dari saat masih menjadi tanggungan orangtua, masa lajang, telah bekerja, masa berkeluarga, dan menjadi orangtua,” katanya.
Mike menjelaskan, pada masa anak masih menjadi tanggungan orangtua atau anak belum memiliki penghasilan sendiri, orangtua perlu mempersiapkan kesejahteraan anak melalui perencanaan pendidikan. “Sehingga, bekal ilmu yang didapat, bisa menjadi modal bagi anak mencapai kemandirian finansialnya,” tandasnya.
Sedangkan pada saat si anak dalam masa lajang dan mencari pekerjaan, transformasi dari masa tanggungan orangtua ke fase mandiri, akan lebih baik di lewati dengan support dana secukupnya dari orangtua. Contoh, berupa pendapatan yang sifatnya uang saku tambahan. Ini bisa dalam bentuk skema anuitas seperti trust fund. Tujuannya agar anak bisa berkonsentrasi pada karier, pekerjaan, dan bisnis yang akan digeluti.
Lalu, pada masa ketika anak berkeluarga dan menjadi orangtua. Transformasi dari masa lajang ke masa pernikahan kemudian masa menjadi orang tua, menurut Mike, pada umumnya berlangsung dalam waktu relatif singkat. Contohnya, ketika masa lajang, si anak baru bekerja pada saat usianya 22 tahun dan memasuki jenjang pernikahan pada usia 30 tahun.
Nah, dalam rentang waktu sekitar delapan tahun itu, sebagian besar orang belum mampu mengakumulasi aset yang cukup untuk berbagai kebutuhannya yang sifatnya primer dalam hidup berkeluarga. “Di sinilah peranan orangtua untuk membantu mengatasi masalah kekurangan dana sebagai modal hidup si anak,” ungkap Mike.
Sampai di sini, ya itu tadi, semua proses tahapan tersebut akan terwujud bila si orangtua mengakumulasi asetnya sejak anaknya berusia dini. “Nah akumulasi aset tersebut bisa berasal dari kegiatan menabung atau berinvestasi si orangtua di masa produktifnya,” kata Mike.
Menurut Mike, untuk kegiatan menabung, Anda bisa memilih sejumlah produk keuangan. Antara lain, simpanan di bank seperti tabungan berencana, tabungan pendidikan, dan deposito. Lalu, produk asuransi dengan skema investasi, seperti asuransi pendidikan dan unitlink. Ada pula efek dan surat berharga (repo, saham, dan obligasi). Pilihan lainnya adalah trust fund (dana amanat).
Return di atas inflasi
Di samping produk keuangan, Anda juga bisa merencanakan keuangan untuk diwariskan ke anak melalui keranjang investasi lainnya. Misalnya, investasi ke sektor properti komersial seperti ruko, kantor, hotel atau properti jenis residensial, seperti rumah tinggal, apartemen, dan properti lainnya.
Selain itu, Anda bisa berinvestasi di logam Mulia, seperti batu mulia atau barang koleksi lainnya. Anda tidak tertarik dengan keranjang investasi yang sudah disebutkan di atas? Tidak masalah, karena Anda juga bisa mengakumulasi aset untuk diwariskan ke anak melalui kegiatan usaha. “Carilah jenis usaha yang bisa langgeng dan berkembang terus dalam jangka panjang. Atau jenis usaha yang bisa menjadi sumber dana untuk mengembangkan harta kekayaan atau aset,” timpal Risza.
Yang paling penting, menurut Risza, dalam merencanakan keuangan untuk warisan anak, Anda harus memilih instrumen investasi yang memiliki nilai pengembalian investasi yang angkanya lebih besar dari tingkat inflasi. “Ini mengingat jangka waktu pada saat pengalihan kepemilikan terjadi dalam rentang waktu panjang,” katanya.
Menurut Rakhmi Permatasari perencana keuangan dari Safir Senduk & Rekan, tidak ada batasan tertentu dalam menabung maupun berinvestasi ketika merencanakan keuangan untuk warisan anak. “Setiap keluarga punya kondisi keuangan berbeda, dengan latar belakang yang sangat berbeda pula. Jadi, semuanya harus disesuaikan dengan kondisi itu,” kata Rakhmi.
Hal tersebut juga berlaku dalam pemilihan keranjang investasi. “Pertimbangannya sama saja seperti kita menyarankan investasi pada seseorang. Jadi, tidak ada rumusan baku untuk hal tersebut,” imbuh Rakhmi. Hanya saja, kata dia, jika si orangtua ingin meninggalkan aset warisan kepada anaknya, maka sebisa mungkin mewariskan sesuatu yang memang dimengerti oleh anaknya. “Contohnya anak kecil. Apakah cocok kalau anak kecil diberikan warisan saham?” imbuhnya.
Jadi, menurut Rakhmi, dalam merencanakan keuangan untuk warisan Anak, tugas Anda bukan hanya mengakumulasi aset dengan menabung atau berinvestasi. Anda juga dituntut untuk mempersiapkan anak agar mengerti dengan baik dan sanggup menerima serta mengelola warisan yang akan diberikan.
Pendapat Rakhmi diamini oleh Risza. “Janganlah pelit dan ragu untuk memberikan edukasi mengenai ilmu finansial atau Pendidikan Keuangan bagi anak. Tujuannya agar mereka mengetahui dan memahami bagaimana cara mengelola dan mengembangkan aset atau harta kekayaan,” ujarnya. Bagaimana dengan Anda?